BIOMA HUTAN BASAH
DI SUSUN
OLEH
:
NAMA : ALFI SYAHRIN
NIM : 150207038
UNIT : 02 PBL
DOSEN PEMBIMBING
SAMSUL KAMAL, S.Pd. MP.d
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN ( FTK )
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM,
BANDA ACEH
TAHUN
2015/2016
Kata Pengantar
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita kenikmatan, berupa kesehatan
maupun pengetahuan. Salawat beserta salam selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan pengikut beliau yang selalu berpegang
teguh serta menyebarkan Islam yang dibawanya hingga hari kiamat.
Rasa
syukur kami panjatkan kepada Allah karena dengan izinnya kami telah dapat
menyelesaikan laporan akhir praktikum Biologi
Umum ini. Tentu dalam kami menyelesaikan laporan akhir ini tidak lepas dari
bantuan orang lain, baik itu rujukan dasar teori, dosen pembimbing, kakak/abang
asisten, serta para teman-teman yang ikut memberikan saran yang telah membantu
kami dalam menyelesaikan laporan akhir ini. Atas bantuannya kami mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.
Dalam
menyelesaikan laporan akhir ini tentu kami memiliki kekurangan dan kesalahan,
maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat membantu dalam
penyempurnaan laporan akhir kami untuk yang akan datang. Kami berharap semoga
laporan akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Banda
Aceh, 08 Februari 2016
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar................................................................................................. i
Daftar Isi............................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN................................................................. 1
BAB II : PEMBAHASAN.................................................................... 3
1. Kondisi
Umum Bioma Hutan Basah / Hutan Hujan Tropis........................... 3
2. Lokasi
dan Karakteristik Ekologis Bioma Hutan Basah................................ 3
3. Produktivitas
Ekosistem Dunia dan Kaitannya.............................................. 5
4. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Produktivitas Bioma Hutan Basah........ 6
5. Tipe
Bioma Hutan Basah Menurut Ketinggian Tempat................................. 16
6. Tipe
Hutan Tropis Menurut Iklim di Indonesia.............................................. 18
7. Tipe
Hutan Hujan Tropis Menurut Physiognomi............................................ 19
8. Tipe
Hutan Tropis Menurut Sosiologi Vegetasi............................................. 21
9. Tipe-Tipe
Hutan Hujan Tropis pada Kondisi Khusus (Azonal)..................... 21
10. Tumbuhan
Penyusun Hutan Hujan Tropis.................................................... 22
11. Komponen
Penyusun Hutan Hujan Selain Tumbuhan.................................. 25
12. Potensi
Indonesia dan Keanekaragaman Hayati........................................... 27
13. Hutan
Basah Indonesia, Keanekaragaman Hayatinya.................................. 29
BAB III : KESIMPULAN................................................................. 34
Dokumentasi .............................................................................................. 36
Daftar Pustaka.................................................................................................. 38
BAB I
PENDAHULUAN
Bioma hutan basah atau hutan hujan
tropika (Tropische Regenwald) merupakan istilah
yang digunakan pertama-tama oleh Schimper tahun 1903 dalam bukunya “Plant Geography”, istilah ini sudah dibakukan dan digunakan sampai
sekarang (Whitmore dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009). Penyebaran hutan
hujan tropika di dunia adalah pada negara-negara yang terletak pada posisi
antara 23,5° LU dan 23,5° LS yang meliputi tiga kawasan yaitu : pertama, di
Amerika Selatan yang berpusat di lembah sungai Amazon Brazilia, meliputi daerah
seluas sekitar 400 juta hektar. Lokasi kedua adalah kawasan hutan Indo-Malaya
dengan luas sekitar 250 juta hektar dan lokasi ke tiga adalah kawasan hutan
Afrika Barat yang terpusat di Lembah sungai Congo/Zaire sampai teluk Guyana
dengan luas kawasan sekitar 180 juta hektar (Myers dan Whitmore dalam Ramadanil
dan Elijonnahdi, 2009).
Defenisi klasik mengenai bioma hutan basah menurut Schimper yang digunakan Richards adalah suatu komunitas tumbuhan
yang selalu hijau, tinggi pohon atau tajuk (canopy)
paling rendah 30 m, kaya akan laian atau tumbuhan meramnat berkayu dan berbagai
bentuk kehidupan (life form) lainnya
seperti pohon, herba, dan epifit, di mana pohon merupakan bentuk kehidupan yang
paling dominan. Secara geografis hutan hujan tropis terdapat di sepanjang
untaian garis katulistiwa. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
hutan tropis dengan berbagai keanekaragaman hayati di dalamnya. Hutan tropis
merupakan sebuah contoh kehidupan terkaya di planet bumi. Memiliki kekayaan
akan flora dan fauna yang sangat tinggi, tumbuhan berkembang selama
berjuta-juta tahun dalam kondisi lingkungan alam dulunya hampir tanpa tekanan
berarti. Flora dan fauna beserta habitatnya ini merupakan hasil yang muncul
dalam perjalanan sejarah evolusi ekosistem, sehingga hutan tropis merupakan
bank dari berbagai genetis (germ plasm)
yang terbesar di dunia. Berbagai hasil penelitian botani lapangan di berbagai
belahan di dunia, kekayaan jenis tumbuhan (pohon dbh > 10 cm) per ha plot
hutan tropis memiliki jumlah jenis pohon 60 – 350 species/ha (Wright dalam
Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009 ).
Diperkirakan di Indonesia terdapat
lebih kurang 47 tipe ekosistem yang menyimpan pesona kehidupan flora dan
faunanya dengan keanekaragaman jenis yang tinggi membuat Indonesia mendaoat
julukan sebagai salah satu negara Megabiodiversitas di dunia. Tingginya tingkat
variasi ekosistem di Indonesia ini disebabkan oleh oleh karena sejarah geologi
pembentukan yang berbeda di antara pulau-pulau di Indonesia, variasi iklim dari
bagian barat yang lembab sampai bagian timur yang kering dan distribusi flora
dan fauna yang didalammnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Kondisi Umum Bioma Hutan Basah / Hutan Hujan Tropis
Secara geografis daerah hutan hujan tropis mencakup wilayah yang terletak
di antara titik balik rasi bintang Cancer dan rasi bintang Capricornus, yaitu
suatu wilayah yang terletak di antara 23027’ LU dan 23027’ LS. Menurut Ewusie
wilayah hutan hujan tropis mencakup ± 30 % dari luas permukaan bumi dan terdapat
mulai dari Amerika Selatan, bagian tengah dari benua Afrika, sebagian anak benua
India, sebagian besar wilayah Asia Selatan dan wilayah Asia Tenggra, gugusan kepulauan
di samudra Pasifik, dan sebagian kecil wilayah Australia.
Pada umumnya wilayah hutan hujan tropis dicirikan oleh adanya 2 musim dengan
perbedaan yang jelas, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Ciri lainnya adalah
suhu dan kelembapan udara yang tinngi, demikian juga dengan curah hujan,
sedangkan hari hujan merata sepanjang tahun
2.
Lokasi dan Karakteristik Ekologis Bioma Hutan Basah
Hutan hujan dapat dijumpai di daerah
tropis, daerah di antara Capricorn Tropis dan Cancer Tropis. Di daerah ini,
matahari bersinar sangat kuat dan dengan kuantitas waktu yang sama setiap hari
sepanjang tahun, menjadikan iklim hangat dan stabil. Banyak negara memiliki
hutan hujan. Negara-negara dengan jumlah hutan hujan terbesar adalah:
1.
Brazil
2.
Kongo, Republik Demokratik
3.
Peru
4.
Indonesia
5.
Kolombia
6.
Papua Nugini
7.
Venezuela
8.
Bolivia
9.
Meksiko
10. Suriname
Hutan hujan tropika terbentuk di
wilayah-wilayah beriklim tropis, dengan
curah hujan tahunan minimum berkisar antara 1.750 millimetre (69 in)
dan 2.000 millimetre (79 in). Sedangkan rata-rata temperatur bulanan
berada di atas 18 °C (64 °F) di sepanjang tahun. Hutan basah ini
tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian sekitar 1.200 m dpl., di atas tanah-tanah yang
subur atau relatif subur, kering (tidak tergenang air dalam waktu lama), dan
tidak memiliki musim kemarau yang nyata
(jumlah bulan kering < 2)
Hutan hujan tropika merupakan vegetasi yang paling
kaya, baik dalam arti jumlah jenis makhluk
hidup yang membentuknya, maupun dalam tingginya nilai sumberdaya lahan (tanah, air, cahaya matahari) yang
dimilikinya. Hutan dataran rendah ini didominasi oleh pepohonan besar yang
membentuk tajuk berlapis-lapis (layering), sekurang-kurangnya tinggi
tajuk teratas rata-rata adalah 45 m (paling tinggi dibandingkan rata-rata hutan
lainnya), rapat, dan hijau sepanjang tahun. Ada tiga lapisan tajuk atas di
hutan ini:
- Lapisan
pohon-pohon yang lebih tinggi, muncul di sana-sini dan menonjol di atas
atap tajuk (kanopi hutan) sehingga dikenal sebagai “sembulan” (emergent).
Sembulan ini bisa sendiri-sendiri atau kadang-kadang menggerombol, namun
tak banyak. Pohon-pohon tertinggi ini bisa memiliki batang bebas cabang
lebih dari 30 m, dan dengan lingkar batang hingga 4,5 m.
- Lapisan
kanopi hutan rata-rata, yang tingginya antara 24–36 m.
- Lapisan
tajuk bawah, yang tidak selalu menyambung. Lapisan ini tersusun oleh
pohon-pohon muda, pohon-pohon yang tertekan pertumbuhannya, atau
jenis-jenis pohon yang tahan naungan.
Kanopi hutan banyak mendukung
kehidupan lainnya, semisal berbagai jenis epifit (termasuk anggrek), bromeliad, lumut, serta lumut kerak, yang hidup
melekat di cabang dan rerantingan. Tajuk atas ini demikian padat dan rapat,
membawa konsekuensi bagi kehidupan di lapis bawahnya. Tetumbuhan di lapis bawah
umumnya terbatas keberadaannya oleh sebab kurangnya cahaya matahari yang bisa
mencapai lantai hutan, sehingga orang dan hewan cukup leluasa berjalan di dasar
hutan.
Ada dua lapisan tajuk lagi di aras
lantai hutan, yakni lapisan semak dan lapisan vegetasi penutup tanah. Lantai
hutan sangat kurang cahaya, sehingga hanya jenis-jenis tumbuhan yang toleran terhadap
naungan yang bertahan hidup di sini; di samping jenis-jenis pemanjat (liana) yang
melilit batang atau mengait cabang untuk mencapai atap tajuk. Akan tetapi
kehidupan yang tidak begitu memerlukan cahaya, seperti halnya aneka kapang dan
organisme pengurai (dekomposer) lainnya tumbuh berlimpah ruah. Dedaunan,
buah-buahan, ranting, dan bahkan batang kayu yang rebah, segera menjadi busuk
diuraikan oleh aneka organisme tadi. Pemakan semut raksasa juga hidup
di sini. Pada saat-saat tertentu ketika tajuk tersibak atau terbuka karena
sesuatu sebab (pohon yang tumbang, misalnya), lantai hutan yang kini kaya sinar
matahari segera diinvasi oleh berbagai jenis terna, semak dan anakan pohon;
membentuk sejenis rimba yang rapat.
3.
Produktivitas Ekosistem Dunia dan
Kaitannya dengan bioma hutan basah
Jumlah total energi yang terbentuk melalui proses fotosintesis perunit
area perunit waktu di sebut produktivitas primer kotor, namun demikian tidak
semua energi yang dihasilkan melalui fotosintesis ini diubah menjadi biomassa,
tetapi sebagian dibebaskan lagi melalui proses respirasi. Produktivitas primer
bersih dengan demikian adalah hasil fotosintesis dikurangi dengan respirasi. Jika
Tabel 1 diperhatikan dengan seksama maka dapat disimpulkan beberapa hal, antara
lain produktivitas primer bersih hutan hujan tropis adalah yang tertinggi di banding
wilayah lain, yang mencapai 1000-3500 g/m2/tahun, disusul oleh hutan musim
tropis yang mencapai 1000-2500 g/m2/tahun. Daerah daratan yang memiliki produktivitas
terendah adalah gurun dan semak-gurun yang hanya berkisar 10-250 g/m2/tahun.
Tabel 1.
Produktivitas Primer Biosfer
Tipe Ekosistem
|
Produktivitas Primer Bersih (Bahan Kering)
|
Kisaran Normal (g/m2/tahun)
|
|
Hutan
Hutan Tropis
|
1000-3500
|
Hutan
Musim Tropis
|
1000-2500
|
Hutan
Iklim Sedang:
|
|
Selalu Hijau
|
600-2500
|
Luruh
|
600-2500
|
Hutan
Boreal
|
400-2000
|
Savana
|
200-2000
|
Padang Rumput Iklim Sedang
|
200-1500
|
Tundra dan Alpin
|
10-400
|
Gurun dan Semak Gurun
|
10-250
|
Sumber :
Whittaker dan Likens dalam Wiharto (2009)
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Bioma Hutan Basah
Produktivitas
merupakan parameter ekologi yang sangat penting. Produktivitas ekosistem adalah
suatu indeks yang mengintegrasikan pengaruh kumulatif dari banyak proses dan
interaksi yang berlangsung simultan di dalam ekosistem. Jika produktivitas pada
suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal ini
menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika terjadi perubahan yang
dramatis, maka menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau
terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme-organisme
yang menyusun ekosistem. Produktivitas khususnya di
wilayah tropis dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain adalah:
a. Suhu dan Cahaya Matahari
Suhu udara di
daerah dataran rendah hutan hujan
tropis tidak pernah turun sampai
pada titik beku. Sebagian besar suhu pada wilayah ini berkisar antara 20-28 0 C,
global bervariasi berdasarkan keadaan atmosfer, lintang, dan ketinggian. Suhu
Udara di daerah hutan hujan tropis tidak pernah turun sampai
sampai mencapai titik beku (00 C) namun pada daerah yang sangat tinggi dimana
kadang-kadang tapi sangat jarang suhu turun hampir mencapai titk beku . Suhu
rata-rata pada sebagian besar daerah adalah 270C, dan kisaran suhu bulanan
berkisar 24-280C, yang dengan demikian kisaran suhu musiman ini jauh lebih
kecil dibanding kisaran suhu siang dan malam (diurnal) yang dapat mencapai 100.
Suhu maksimum jarang mencapai 380C juga jarang jatuh sampai di bawah 200C.
Berdasarkan gradasi
suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas akan meningkat dari wilayah kutup ke
wilayah ekuator , namun untuk daerah hutan
hujan tropis suhu
bukanlah faktor dominan yang menentukan produktivitas, tapi lamanya musim
tumbuh (Walter, 1981). Wilayah hutan hujan
tropis menerima lebih banyak
sinar matahari tahunan yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan wilayah
iklim sedang. Hal ini disebabkan oleh 3 faktor: (1) Kemiringan poros bumi
menyebabkan wilayah tropika menerima lebih banyak sinar matahari dibanding pada
atmosfer luarnya dibanding dengan wilayah iklim sedang. (2) Lewatnya sinar
matahari pada atmosfer yang lebih tipis (karena sudut yang lebih tegak lurus di
daerah tropika), mengurangi jumlah sinaran yang diserap oleh atmosfer. Di
wilayah hutan hujan tropis, 56% sampai dengan 59 % sinar
matahari pada batas atmosfer dapat sampai di permukaan tanah. (3) Masa tumbuh,
yang terbatas oleh keadaan suhu adalah lebih panjang di daerah hutan hujan tropis (kecuali di tempat-tempat yang sangat tinggi).
Jordan (1995)
menjelaskan bahwa adanya suhu yang tinggi dan konstan hampir sepanjang tahun
dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuh-tumbuhan akan berlangsung lama, yang
pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas. Berdasarkan sinar matahari dan
lamanya masa tumbuh De Witt dalam Sanches (1992) menaksir hasil tanaman pangan
yang mungkin, berdasarkan jalur lintang. Perhitunganya menunjukkan bahwa daerah
hutan hujan tropis berkemungkinan memberikan hasil
lebih besar per tahun dibanding daerah iklim sedang, dengan mengandaikan
tidaknya faktor pembatas. Pada daerah lintang tropika kemampuan panen tahunan
rata-rata adalah sebesar 60 ton/ha hasil kering keseluruhan. Kira-kira setengah
dari jumlah itu dianggap sebagai hasil panen yang menguntungkan dari segi
ekonomi.
b. Curah Hujan
Di daerah hutan hujan tropis jumlah curah hujan per tahun berkisar antara 1600 sampai
dengan 4000 mm (Warsito, 1999) dengan sebaran bulan basah 9,5-12 bulan basah
(Sanches, 1992). Kondisi ini menjadi wilayah ini memiliki curah hujan yang
merata hampir sepanjang tahun yang akan sangat mendukung produktivitas yang
tinggi. Hujan selain berfungsi sebagai sumber air juga berfungsi sebagai sumber
hara. Whitmore (1986) mengatakan bahwa banyak nitrogen yang terfiksasi selama
terjadi badai dan turun ke bumi bersama dengan hujan.
Hara lain yang
banyak masuk ke dalam ekosistem melalui curah hujan menurut Kenworty dalam
Whitmore (1986) adalah K, Ca, dan Mg. Walaupun memberi dampak positif bagi
produktivitas vegetasi menurut Resosoedarmo et al., (1986) curah hujan
yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi oleh vegetasi
rentan sekali terhadap pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah dengan
cepat. Barbour et al, (1987) mengatakan bahwa sebagai salah satu faktor
siklus hara dalam sistem, pencucian adalah penyebab utama hilangnya hara dari
suatu ekosistem. Hara yang mudah sekali tercuci terutama adalah Ca dan K.
c. Interaksi Antara Suhu dan Curah Hujan
Produktivitas
yang tinggi dan kontinyu sepanjang tahun tidak akan berlangsung jika hanya
didukung oleh suhu yang tinggi. Banyak wilayah lain di dunia yang memiliki suhu
yang jauh lebih tinggi di banding wilayah hutan hujan tropis,
tetapi memiliki produktivitas yang rendah. Interaksi antara suhu yang tinggi
dan curah hujan yang banyak yang berlangsung sepanjang tahun menghasilkan
kondisi kelembapan yang sangat ideal bagi vegetasi hutan hujan tropis untuk
meningkatkan produktivitas. Kelembapan atmosfer merupakan fungsi dari lamanya
hari hujan, terdapatnya air yang tergenag, dan suhu. Sumber utama air dalam
atmosfer adalah hasil dari penguapan dari sungai, air laut, dan genangan air
tanah lainnya serta transpirasi dari tumbuhan.
Tingginya
kelembapan pada gilirannya akan meningkatkan laju aktivitas mikroorganisme.
Selain itu, proses lain yang sangat dipengaruhi oleh proses ini adalah
pelapukan tanah yang berlangsung cepat. Pelapukan terjadi ketika hidrogen dalam
larutan tanah bereaksi dengan mineralmineral dalam tanah atau lapisan batuan,
yang mengakibatkan terlepas unsur-unsur hara. Hara-hara ini ada yang dapat
dengan segera diserap oleh tumbuhan.
d. Produktivitas Serasah
Produktivitas
serasah di hutan hujan tropis adalah juga yang
tertinggi di banding dengan wilayah-wilayah lain sebagaimana yang terlihat pada
Table 2. Oleh karena produktivitas serasah yang tinggi maka akan memberikan
keuntungan bagi vegetasi untuk meningkatkan produktivitas karena tersedianya
sumber hara yang banyak.
Tabel 2.
Laju Produktivitas Serasah Di Berbagai Tipe Ekosistem Dunia
Ekosistem
|
Lokasi
|
Produktivitas
Serasah (g/m/tahun)
|
Hutan hujan tropis
|
Thailand
|
2322
|
Hutan iklim sedang
|
Di beberapa lokasi
|
1200
|
Savana kering
|
Rusia
|
290
|
Hutan oak
|
Rusia
|
350
|
Taiga
|
Rusia
|
250-300
|
Hutan musim tropis
|
Pantai Gading
|
440
|
Herba perennial
|
Jepang
|
1484
|
Prairi
|
Amerika Serikat
|
520
|
Produktivitas
serasah yang tinggi ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Hutan hujan tropis yang selalu hijau dan (2) Iklim, sebagai mana produktivitas
tahunan serasah di 4 zone iklim yang berbeda dan menemukan pada hutan hujan tropis, hutan iklim
sedang yang hangat, hutan iklim
sedang yang sejuk, dan hutan alphin
produktivitasnya berturut-turut adalah: 10,2 t/ha/tahun; 5,6 t/ha/tahun; 3,1
ton/ha/tahun; dan 1,1 t/ha/tahun.
Hutan hujan tropis adalah ekosistem dengan laju
dekomposisi serasah tercepat dibanding ekosistem-ekosistem lainnya sebagaimana
yang terlihat pada Tabel 3. hal ini disebabkan karena serasah yang jatuh ke
permukaan tanah tidak akan lama tertimbun di lantai hutan tetapi segera mengalami dekomposisi sehingga dapat dengan
segera diserap kembali oleh tumbuhan. Laju dekomposisi serasah berbeda antara
satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh
kelembapan udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari
serasah.
Tabel 3. Laju Dekomposisi Serasah di Beberapa Tipe
Ekosistem Dunia
Iklim
|
Ekosistem dan Lokasi
|
Laju Dekomposisi
|
Tropis
|
Hutan hujan tropis
|
0,45
|
Padang rumput
|
0,30
|
|
Sedang
|
Hutan oak di :
|
|
Minnesota
|
0,018
|
|
Missouri
|
0,095
|
|
New Jersey
|
0,018
|
.
e. Tahap Suksesi Komunitas
Produktivitas
vegetasi juga mengikuti pola perubahan yang terjadi selama suksesi. Pada Gambar
1 terlihat adanya gradasi peningkatan produktivitas vegetasi selama masa awal
suksesi, diikuti dengan mulai menurunnya produktivitas vegetasi setelah
mencapai puncak Botkin et al. membuat suatu model untuk memprediksi
pertumbuhan biomassa tegakan hutan dan
menemukan bahwa tegakan mencapai puncak pertumbuhannya pada usia sekitar 200
tahun, dan kemudian berkurang 30-40% setelah usia tersebut.
Menurut Barbour at
al. penurunan ini disebabkan karena: (1) Proporsi alokasi produktivitas
primer bersih yang sangat besar ke struktur biomassa non fosintesis, (2)
Keterbatas tajuk pohon dan orientasi daun, (3) Terikatnya hara di dalam
struktur biomassa pohon (4) Menurunnya efisiensi fotosintesis dari individu
pohon yang telah tua.
f. Tanah.
Tanah adalah
faktor di daerah tropis yang
tidak mendukung tingginya produktivitas yang tinggi. Tanah di hutan hujan tropis adalah tanah yang berumur sangat tua, kecuali tanah
vulkanik. Periode Pleistocene tidak berpengaruh sama sekali pada tanah disini,
dan kemungkinan besar tanah disini berasal dari periode Tertiary). Pencucian
terjadi menurut Brady (1974) karena beberapa hara tersimpan di permukaan tanah
liat atau pada bahan organik koloid, Permukaan ini bermuatan negatif. Ion-ion
bermuatan positif seperti K+, Ca++, dan NH4 + akan bergabung dengan permukaan
yang memiliki muatan negatif. Kemampuan tanah untuk mempertahankan kation pada
permukaan liat maupun humus terutama ditentukan oleh nilai Kapasitas Tukar
Kation (KTK)nya.
Tanah yang
memiliki kandungan liat atau kandungan organik yang tinggi memiliki KTK yang
tinggi yang berarti tanah tersebut memiliki kemampuan tinggi dalam
mempertahankan mineral-mineralnya. Namun faktor lain juga turut berperan dalam
hal ini, terutama jenis mineral liat yang terdapat di tanah Mineral liat yang
mengalami pelapukan yang sangat kuat seperti kaolinit memiliki KTK yang rendah.
Ion hara yang bermuatan positif pada permukaan liat dapat digantikan oleh ion
hidrogen. Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah tropis disebabkan oleh diproduksinya
asam organik secara kontinu melalui respirasi yang dilangsungkan oleh
mikroorganisme tanah dan akar. Respirasi oleh pengurai bersama dengan respirasi
oleh akar disebut respirasi tanah. Jika tanah dalam keadaan basah, maka karbon
dioksida (CO2) dari respirasi tanah beserta air (H2O) akan membentuk asam
karbonat (H2CO3) yang kemudian akan mengalami disosiasi menjadi bikarbonat
(HCO3-) dan sebuah ion hidrogen bermuatan positif (H+). Ion hidrogen
selanjutnya dapat menggantikan kation hara yang ada pada koloid tanah, kemudian
bikarbonat bereaksi dengan kation yang dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi
ini dapat tercuci ke bawah melalui profil tanah.
Karakteristik
dari lapisan tanah juga menentukan apakan kation akan tercuci dari horizon
tanah. Kemasamanlah yang menjadi faktor utama pencucian dan pelapukan, walaupun
secara umum kejadian ini dipicu oleh ketersediaan air (Johnson et al.
dalam Jordan, 1985). Sumber hidrogen lainnya berasal dari transformasi
Nitrogen. Selama masa penguraian bahan organik, nitrogen yang terikat secara
organik pada bahan tersebut di konversi menjadi ammonium (NH4) yang kemudian
akan diserap oleh tumbuhan atau dikonversi menjadi Nitrat (NO3) melalui proses
nitrifikasi. Hidrogen yang dibebaskan dari proses ini dapat menggantikan kation
hara yang dapat dipertukarkan pada permukaan tanah, dan ion nitrat yang
tersedia kemudain akan bereaksi dengan kation hara tersebut. Hidrogen yang
dibebaskan ke tanah sebagai hasil aktivitas biologi, akan bereaksi dengan liat
silikat dan membebaskan aluminium. Karena aluminium merupakan unsur yang
terdapat dimana-mana di daerah hutan hujan
tropis, maka alminiumlah yang
lebih dominan berasosiasi dengan tanah asam di daerah ini. Sulfat juga dapat
menjadi sumber pembentuk asam di tanah. Sulfat ini dapat masuk ke ekosistem
melalui hujan maupun jatuhan kering, juga melalui aktivitas organisme mikro yang
melepaskan senyawa gas sulfur. Asam organik juga dapat dilepaskan dari
aktivitas penguraian serasah.
Laju pelapukan yang tinggi juga berpotensi
tinggi untuk terjadi di kawasan hutan hujan
tropis yang juga dipicu oleh
kelembapan dan panas yang tinggi yang berlangsung sepanjang tahun. Pelapukan
terjadi ketika hidrogen di dalam larutan tanah bereaksi dengan mineral di dalam
tanah atau lapisan bebatuan, sehingga unsur-unsur hara dapat tersingkirkan. Hal
ini misalnya dapat terlihat pada feldspar yang terdapat dalam aluminosilikat
(senyawa aluminium dan silikat) yang mengandung hara-hara seperti Na, K, dan
Ca. Jika feldspar terhidrolisasi , maka hara-hara tersebut akan di keluarkan
dari aluminosilikat. Hara yang terlarut ini kemudian dapat diadsorpsi oleh koloida
tanah, dan kemudian digunakan oleh tumbuhan, atau hilang dari ekosistem lewat
pencucian.
Karakteristik
dari tanah seperti tekstur, hara, dan kedalaman telah banyak dibahas sebagai
komponen yang penting dalam menentukan hubungan kompetisi dan laju pertumbuhan
dari tumbuhan di berbagai kondisi lingkungan. Namun menurut Pastor dan Bockheim
merupakan hal yang sulit untuk mentranslasikan pengaruh edafik pada studi-studi
produktivitas. Hal ini disebabkan karena tidak semua spesies memiliki kebutuhan
hara yang sama untuk memproduksi sejumlah biomassa dengan ukuran yang sama.
Pengaruh edafik mungkin akan tertutupi jika spesies yang tumbuh pada lingkungan
miskin hara memiliki efisisensi pemanfaatan hara yang tinggi. Pada lingkungan
yang demikian ini, baik komposisi spesies maupun produktivitas dapat
dipengaruhi dengan modifikasi rezim hara.
g. Herbivora
Herbivora adalah
faktor biotik yang mempengaruhi produktivitas vegetasi. Sekitar 10 % dari
produktivitas vegetasi darat dunia dikonsumsi oleh herbivora biofag. Persentase
ini bervariasi menurut tipe ekosistem darat (Barbour at al., 1987). Oleh
karena produktivitas yang tinggi, maka dapat di antisipasi adanya potensi yang
tinggi untuk terjadi serangan insekta. Namun, sedikit bukti yang ada,
sekurang-kurangnya di hutan yang
tumbuh secara alami, adanya serangan insekta pada areal berskala luas.
Walau pun demikian
defoliasi pada individu pohon secara menyeluruh sering sekali terjadi (Jordan,
1985). Menurut penulis yang sama hal ini disebabkan oleh tingginya
keanekaragaman di daerah hutan hujan
tropis. Banyak pohon
mengembangkan alat pelindung terhadap herbivora melalui produksi bahan kimia
tertentu yang jika dikonsumsi oleh herbivora memberi efek yang kurang baik bagi
herbivora.
h. Sistem Konservasi Hara
Curah hujan yang
sangat tinggi seperti dikemukakan di atas selain memberi dampak positif juga
berdampak negatif karena mudahnya hara hilang dari ekosistem akibat pencucian.
Tanpa mekanisme konservasi hara yang tepat, ekosistem hutan hujan tropis tidak
dapat mempertahankan produktivitasnya yang tinggi. Rupanya mekanisme tersebut
telah terdapat pada komponen-komponen yang menyusun ekosistem hutan hujan tropis. Salah satu bentuk adaptasi konservasi hara secara alami di
hutan hujan tropis yang memiliki tanah yang miskin
hara adalah dengan menghasilkan biomassa akar yang relatif besar dibanding
bagian tubuh tumbuhan lainnya, dan konsentrasi dari akar tersebut sebagian
besar di atas permukaan tanah.
Nye dan Thinker
meneliti pentingnya pergerakan hara di dalam tanah, dan mereka menemukan bahwa
tumbuhan yang tumbuh di tanah yang miskin hara memiliki konsentrasi akar yang
sangat besar di atas permukaan tanah. Keuntungan dari adaptasi ini adalah akar
dapat menyerap hara lebih banyak. Konsentrasi akar di atas permukaan tanah juga
memungkinkan akar bercampur dengan serasah, berbagai organisme yang telah mati,
dan organisme pengurai. Hal ini memungkinkan akar dapat dengan cepat dan lebih
banyak menyerap berbagai hasil penguraian yang dilakukan organisme pengurai di
sekelilingnya. Selanjutnya kondisi ini juga akan membuat hara terserap ke dalam
pohon daripada ke organisme lain atau tercuci keluar dari sistem. Penjelasan di
atas menunjukkan bahwa di daerah hutan hujan
tropis, hara jarang sekali
tersimpan lama di tanah, namun langsung diserap oleh tumbuhan atau oleh
mikroorganisme.
Pergerakan hara
yang demikian ini juga ditunjang oleh keberadaan berbagai organisme yang hidup
maupun mati seperti bryophyta, lichens, lumut, bromelia, paku-pakuan, anggrek,
dan epifit lainnya yang sangat banyak terdapat pada tajuk pohon.
Organisme-organisme ini mampu menyerap harany sendiri dari lingkungan
sekitarnya, terutama dari atmosfer tanpa merusak tumbuhan inangnya. Pada saat
organisme penghuni tajuk ini mati, maka hara yang dikandungnya juga akan
terurai dan langsung diserap oleh akar-akar udara yang sangat banyak terdapat
di hutan hujan tropis. Kemampuan ini ditunjang oleh
morfologi akar udara yang memiliki banyak sekali akar-akar halus di
permukaannya, juga banyak dari akar ini dapat berasosiasi dengan jamur
membentuk endomikoriza, dan memiliki kemampuan untuk memfiksasi nitrogen.
Kehadiran
mikoriza juga sangat membantu tumbuhan memperoleh hara pada tanah yang miskin.
Kimmins (1987) menjelaskan bahwa mikoriza adalah asosiasi antara jamur dan akar
tumbuhan tinggi. Jamur-jamur ini menyelimuti akar tumbuhan dengan akar yang
disebut hyphae. Hyphae kemudian berhubungan dengan sel-sel akar dan hasil
metabolosme pun ditransfer di antara keduanya. Akar tumbuhan secara pasif akan
terus-menerus mengeluarkan senyawa-senyawa yang dibutuhkan oleh jamur seperti
asam amino yang kemudian diserap oleh jamur. Jamur, sebaliknya menyuplai
tumbuhan dengan berbagai hara yang diperlukan. Jamur-jamur ini memperoleh
harahara tersebut dari penguraian maupun melalui fiksasi.
5. Tipe Bioma Hutan Basah Menurut Ketinggian Tempat
Menurut ketinggian tempat dari
permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga zona atau wilayah
sebagai berikut.
1.
Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah
karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 0 -1.000 m dari permukaan
laut.
2.
Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah
karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 1.000 - 3.300 m dari
permukaan laut.
3.
Zona 3 dinamakan hutan hujan atas
karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 3.300 - 4.100 m dari
permukaan laut.
a) Zona Hutan
Hujan Bawah
Penyebaran tipe ekosistem hutan
hujan bawah meliputi pulaupulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara,
Irian, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku misalnya di pulau Taliabu,
Mangole, Mandioli, Sanan, dan Obi. Di hutan hujan bawah banyak terdapat spesies
pohon anggota famili Dipterocarpaceae terutama anggota genus Shorea,
Dipterocarpus, Hopea, Vatiea, Dryobalanops, dan Cotylelobium. Dengan
demikian, hutan hujan bawah disebut juga hutan Dipterocarps. Selain
spesies pohon anggota famili Dipterocarpaceae tersebut juga terdapat
spesies pohon lain dari anggota famili Lauraceae, Myrtaceae, Myristicaceae, dan
Ebenaceae, serta pohon-pohon anggota genus Agathis, Koompasia, dan
Dyera.
Pada ekosistem hutan hujan bawah di
Jawa dan Nusa Tenggara terdapat spesies pohon anggota genus Altingia,
Bischofia, Castanopsis, Ficus, dan Gossampinus, serta
spesies-spesies pohon dari famili Leguminosae. Adapun eksosistem hutan
hujan bawah di Sulawesi, Maluku, dan Irian, merupakan hutan campuran yang
didominasi oleh spesies pohon Palaquium spp., Pometia pinnata, Intsia spp.,
Diospyros spp., Koordersiodendron pinnatum, dan Canarium spp. Spesies-spesies
tumbuhan merambat yang banyak dijumpai di hutan hujan bawah adalah anggota
famili Apocynaceae, Araceae, dan berbagai spesies rotan (Calamus
spp.)
b) Zona Hutan
Hujan Tengah
Penyebaran tipe ekosistem hutan
hujan tengah meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, sebagian daerah
Indonesia Timor, di Aceh dan Sumatra Utara. Secara umum, ekosistem hutan hujan
tengah didominasi oleh genus Quercus, Castanopsis, Nothofagus, dan spesies
pohon anggota famili Magnoliaceae. Di beberapa daerah, tipe ekosistem
hutan hujan tengah agak khas. Misalnya di Aceh dan Sumatra Utara terdapat
spesies pohon Pinus merkusii, di Jawa Tengah terdapat spesies pohon Albizzia
montana dan Anaphalis javanica, di beberapa daerah Jawa Timur
terdapat spesies pohon Cassuarina spp., di Sulawesi terdapat kelompok
spesies pohon anggota genus Agathis dan Podocarpus. Di sebagian
daerah Indonesia Timur terdapat spesies pohon anggota genus Trema,
Vaccinium, dan pohon Podocarpus imbricatus, sedangkan spesies pohon
anggota famili Dipterocarpaceae hanya terdapat pada daerah-daerah yang
memiliki ketinggian tempat 1.200 m dpl.
c) Zona Hutan
Hujan Atas
Penyebaran tipe ekosistem hutan
hujan atas hanya di Irian Jaya dan di sebagian daerah Indonesia Barat. Tipe
ekosistem hutan hujan atas pada umumnya berupa kelompok hutan yang
terpisah-pisah oleh padang rumput dan belukar. Pada ekosistem hutan hujan atas
di Irian Jaya banyak mengandung spesies pohon Conifer (pohon berdaun
jarum) genus Dacrydium, Libecedrus, Phyllocladus, dan Podocarpus. Di
samping itu, mengandung juga spesies pohon Eugenia spp. dan Calophyllum,
sedangkan di sebagian daerah Indonesia Barat dijumpai juga kelompokkelompok
tegakan Leptospermum, Tristania, dan Phyllocladus yang tumbuh
dalam ekosistem hutan hujan atas pada daerah yang memiliki ketinggian tempat
lebih dari 3.300 m dpl.
6. Tipe Hutan
Tropis Menurut Iklim di Indonesia
1. Hutan Tropis Basah
Hutan tropis basah adalah hutan yang
memperoleh curah hujan yang tinggi, sering juga kita kenal dengan istilah hutan
pamah. Hutan jenis ini dapat dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku
Bagian Utara dan Papua. Jenis-jenis yang umum ditemukan di hutan ini, yaitu:
Meranti (Shorea dan Parashorea), keruing (Dipterocarpus), Kapur (Dryobalanops),
kayu besi (Eusideroxylon zwageri), kayu hitam (Diospyros sp).
2. Hutan Muson Basah
Hutan muson basah merupakan hutan
yang umumnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, periode musim kemarau 4-6
bulan. Curah hujan yang dialami dalam satu tahun 1.250 mm-2.000 mm. Jenis-jenis
pohon yang tumbuh di hutan ini antara lain jati, mahoni, sonokeling, pilang dan
kelampis.
3. Hutan Muson Kering
Hutan muson kering terdapat di ujung
timur Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Tipe hutan ini berada pada lokasi yang
memiliki musim kemarau berkisar antara 6-8 bulan. Curah hujan dalam setahun
kurang dari 1.250 mm. Jenis pohon yang tumbuh pada hutan ini yaitu Jati dan
Eukaliptus.
4. Hutan Savana
Hutan savana merupakan hutan yang
banyak ditumbuhi kelompok semak belukar diselingi padang rumput dengan jenis
tanaman berduri. Periode musim kemarau 4 – 6 bulan dengan curah hujan kurang
dari 1.000 mm per tahun. Jenis-jenis yang tumbuh di hutan ini umumnya dari
Famili Leguminosae dan Euphorbiaceae. Tipe Hutan ini umum dijumpai di Flores,
Sumba dan Timor.
7. Tipe Hutan
Hujan Tropis Menurut Physiognomi
Pada sistem klasifikasi ini dasar
yang dipakai adalah ciri-ciri luar vegetasi yang mudah dikenali dan dibedakan,
seperti semak, rumput, pohon dan lain-lain. Ciri lebih lanjut seperti
menggugurkan daun, selalu hijau, tinggi dan derajad penutupan tegakan dapat
pula diterapkan. Ciri-ciri yang umum digunakan yaitu :
ü Tinggi
vegetasi, yang berkaitan dengan strata yang nampak oleh mata biasa
ü Struktur,
berpedoman pada susunan stratum (A, B, C, D dan E), dan penutupan tajuk
(Coverage).
ü Life-form
atau bentuk hidup atau bentuk pertumbuhan, merupakan individu-individu penyusun
komunitas tumbuh-tumbuhan.
Contoh :
a. Ciri physiognomi hutan tropis dataran rendah :
a. Ciri physiognomi hutan tropis dataran rendah :
Kanopi
|
:
|
25 – 45 m
|
Tinggi pohon (emergent)
|
:
|
Khas, 60 – 80 m
|
Daun penumpu
|
:
|
Sering dijumpai
|
Elemen daun dominan
|
:
|
Mesophyl
|
Akar papan
|
:
|
Sering dijumpai dan sangat besar
|
Kauliflori
|
:
|
Sering dijumpai
|
Liana berkayu
|
:
|
Sering dijumpai
|
Liana pada batang
|
:
|
Sering dijumpai
|
Ephyphit
|
:
|
Sering dijumpai
|
b. Ciri physiognomi hutan
tropis dataran tinggi/ pegunungan :
Kanopi
|
:
|
15 – 33 m
|
Tinggi pohon (emergent)
|
:
|
Sering tidak ada
|
Daun penumpu
|
:
|
Jarang dijumpai
|
Elemen daun dominan
|
:
|
Mesophyl
|
Akar papan
|
:
|
Jarang dijumpai dan kecil
|
Kauliflori
|
:
|
Jarang dijumpai
|
Liana berkayu
|
:
|
Jarang dijumpai
|
Liana pada batang
|
:
|
Sering dijumpai
|
Ephyphit
|
:
|
Sangat sering dijumpai
|
c. Ciri physiognomi hutan tropis pegunungan tinggi :
Kanopi
|
:
|
2 - 18 m
|
Tinggi pohon (emergent)
|
:
|
Pada umumnya tidak ada
|
Daun penumpu
|
:
|
Sangat jarang dijumpai
|
Elemen daun dominan
|
:
|
Microphyl
|
Akar papan
|
:
|
Pada umumnya tidak ada
|
Kauliflori
|
:
|
Tidak ada
|
Liana berkayu
|
:
|
Tidak ada
|
Liana pada batang
|
:
|
Jarang dijumpai
|
Ephyphit
|
:
|
Sering dijumpai
|
Di Indonesia berdasarkan ciri
physiognomi tedapat dua tipe hutan yaitu : Hutan Hujan Tropis, hutan yang
selalu hijau dan hutan musim atau hutan yang menggugurkan daun. Hutan hujan
tropis umumnya dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku bagian Utara
dan Papua sedangkan hutan musim yang menggugurkan daun dijumpai di Jawa, Bali,
Nusa Tenggara dan Maluku bagian Selatan.
8. Tipe Hutan
Hujan Tropis Menurut Sosiologi Vegetasi
Tipe hutan berdasarkan sosiologi
vegetasi merupakan pengklasifikasian hutan berdasarkan jenis yang dominan pada
hutan tersebut atau berdasarkan famili yang dominan di daerah itu. Contoh :
a)
Hutan Dipterocarpaceae di Asia
Tenggara, merupakan hutan tropis yang umum dijumpai dan Famili yang mendominasi
adalah Famili Dipterocarpaceae.
b)
Hutan Shorea albida di Serawak,
merupakan hutan tropis yang didominasi jenis Shorea albida.
c)
Hutan Ebony (Diospyros sp) di
Sulawesi, merupakan hutan tropis yang didominasi oleh Ebony atau kayu hitam.
d)
Hutan Mahoni di Jawa, meupakan hutan
musim yang didominasi oleh mahoni di pulau Jawa.
9. Tipe-Tipe Hutan Hujan Tropis pada Kondisi Khusus (Azonal)
Hutan pada tipe azonal umumnya
dipengaruhi oleh kondisi tanah dan air serta kondisi tempat tumbuh yang miskin
hara.
a) Hutan
Mangrove
Hutan yang berada di tepi pantai, didominir
oleh pohon-pohon tropika atau belukar dari genus Rhizophora, Languncularia,
Avicennia dan lain-lain.
b) Hutan Gambut
(Peak Forest)
Hutan yang tumbuh pada tanah
organosol dengan lapisan gambut yang memiliki ketebalan 50 cm atau lebih,
umumnya terdapat pada daerah yang memiliki tipe iklim A atau B menurut
klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson.
c)
Hutan Rawa (Swamp Forest)
Hutan yang tumbuh pada daerah-daerah
yang selalu tergenang air tawar, tidak dipengaruhi iklim. Pada umumnya terletak
dibelakang hutan payau dengan jenis tanah aluvial. Tegakan hutan selalu hijau
dengan pohon-pohon yang tinggi bisa mencapai 40 m dan terdiri atas banyak
lapisan tajuk.
10. Tumbuhan Penyusun Hutan Hujan Tropis
Tumbuhan utama penyusun
hutan hujan tropis yang basah (lembab), biasanya terdiri atas tujuh kelompok
utama, yaitu:
- Pohon-pohon
Hutan
Pohon-pohon ini merupakan
komponen struktural utama, kadang-kadang untuk mudahnya dinamakan atap atau
tajuk (canopy). Kanopi ini terdiri dari tiga tingkatan, dan masing-masing
tingkatan ditandai dengan jenis pohon yang berbeda. Tingkatan A merupakan
tingakatan tumbuhan yang menjulang tinggi, dengan ketinggian lebih dari 30
meter. Pohon-pohonnya dicirikan dengan jarak antar pohon yang agak berjauhan
dan jarang merupakan suatu lapisan kanopi yang bersambung. Tingkatan B
merupakan tumbuhan dengan ketinggian antara 15-30 meter. Kanopi pada tingkatan
ini merupakan tajuk-tajuk pohon yang bersifat kontinu (bersambung) dan membentuk
sebuah massa yang dapat disebut sebagai sebuahatap (kanopi). Sedangkan
tingkatan C merupakan tumbuhan dengan ketinggian antara 5-15 meter. Tingkatan
ini dicirikan dengan bentuk pohon yang kecil dan langsing, serta memiliki tajuk
yang sempit meruncing. Tingkatan-tingkatan kanopi hutan hujan tropis sebenarnya
sukar sekali dtentukan secara pasti. Hal ini disebabkan oleh ketinggian pohon
yang tidak seragam seperti telah disebutkan dalam pembagian tingkatan di atas.
Pengamatan tingkatan kanopi di atas hanyalah bersifat kausal saja.
- Terna
Pada bagian hutan yang
kanopinya tidak begitu rapat, memungkinkan sinar matahari dapat tembus hingga
ke lantai hutan. Pada bagian ini banyak tumbuh dan berkembang vegetasi tanah
yang berwarna hijau yang tidak bergantung pada bantuan dari luar. Tumbuhan yang
demikian hidup dalah iklim yang lembab dan cenderung bersifat terna seperti
paku-pakuan dan paku lumut (Selagenella spp.) dengan bagian dindingnya sebagian
besar terdiri dari tumbuhan berkayu. Terna dapat membentuk lapisan tersendiri,
yaitu lapisan semak-semak (D), terdiri dari tumbuhan berkayu agak tinggi.
Lapisan kedua yaitu semai-semai pohon (E) yang dapat mencapai ketinggian 2
meter.
Lapisan semak-semak sering
mencakup beberapa terna besar sepertiScitamineae (pisang, jahe, dll.) yang
tingginya dapat melebihi 5 meter. Meskipun kondisi iklim mikronya panas dan
lembab, namun perkembangan terna dalam wilayah hutan hujan tropis kurang baik.
Hal ini disebabkan kurangnya pencahayaan matahari untuk membantu proses
fotosintesisnya. Persebaran terna yang baik terdapat pada wilayah terbuka
dengan air yang cukup melimpah atau pada tebing-tebing terjal, dimana sinar
matahari leluasa mencapai lantai hutan.
- Tumbuhan
Pemanjat
Tumbuhan ini bergantung dan
menunjang pada tumbuhan utama dan memberikan hiasan utama pada hutan hujan
tropis. Tumbuhan pemanjat ini lebih dikenal dengan sebutanLiana. Tumbuhan ini
dapat tumbuh baik, besar dan banyak, sehingga mampu memberikan salah satu sifat
yang paling mengesankan dari hutan hujan tropis. Tumbuhan ini dapat berbentuk
tipis seperti kawat atau berbentuk besar sebesar paha orang dewasa. Tumbuhan
ini seperti menghilang di dalam kerimbunan dedaunan atau bergantungan dalam
bentuk simpul-simpul tali raksasa (ingat dalam film Tarzan, the Adventure). Sering
pula tumbuhan ini tumbuh di percabangan pohon-pohon besar. Beberapa diantaranya
dapat mencapai panjang sampai 200 meter.
- Epifita
Tumbuhan ini tumbuh melekat
pada batang, cabang atau pada daun-daun pohon, semak, dan liana. Tumbuhan ini
hidup diakibatkan oleh kebutuhan akan cahaya matahari yang cukup tinggi.
Beberapa dari tipe ini hidup di atas tanah pada pohon- pohon yang telah mati.
Tumbuhan ini pada umumnya tidak menimbulkan pengaruh buruk terhadap inang yang
menunjangnya. Tumbuhan ini pun hanya memainkan peran yang kurang berarti dalam
ekonomi hutan.
Namun demikian, epfita
memainkan peranan penting dalam ekosistem sebagai habitat bagi hewan. Epifit
pun memainkan peranan penting dan sangat menarik untuk menunjukkan adaptasi
struktural terhadap habitatnya. Jumlah jenisnya lebih beraneka ragam, biasanya
melibatkan kekayaan jenis-jenis tumbuhan spora, baik dari golongan yang rendah
maupun paku-pakuan dan tumbuhan berbunga termasuk diantaranya semak-semak.
Kehadiran epifit dalam ukuran yang luas lagi digunakan untuk membedakan antara
hutan hujan tropis dengan komunitas hutan di daerah iklim sedang.
- Pencekik
Pohon
Tumbuhan pencekik memulai
kehidupannya sebagai epifita, tetapi kemudian akar- akarnya menancap ke tanah
dan tidak menggantung lagi pada inangnya. Tumbuhan ini sering membunuh pohon
yang semula membantu menjadi inangnya. Tumbuhan pencekik yang paling banyak
dikenal dan melimpah jumlahnya, baik dari segi jenis ataupun populasinya,
adalahFircus spp. yang memainkan peranan penting baik dalam ekonomi maupun
fisiognomi hutan hujan tropis. Biji-biji dari tumbuhan pencekik ini berkecambah
diantara dahan-dahan pohon besar yang tinggi atau semak yang merupakan
inangnya. Pada stadium ini tumbuhan pencekik masih berupa epifit, namun
akar-akarnya bercabang-cabang dan menujam ke bawah melalui batang- batang
inangnya hingga mencapai tanah. Kemudian batang-batang pohon itu tertutup dan
terjalin oleh akar-akar tumbuhan pencekik dengan sangat kuat. Setelah beberapa
waktu tertentu inang pohon pun akan mati dan membusuk meninggalkan pencekiknya.
Sementara itu tajuk tumbuhan pencekik menjadi besar dan lebat.
- Saprofita
Tipe tumbuhan ini
mendapatkan zat haranya dari bahan organik yang telah mati bersama-sama
denganparasit-parasit. Tumbuhan ini merupakan komponen heterotrof yang tidak
berwarna hijau di hutan hujan tropis. Jenis tumbuhan ini terdiri atas cendawan
atau jamur (fungi), dan bakteri. Tumbuhan ini dapat membantu terjadinya
penguraian organik, terutama yang hidup di dekat permukaan lantai hutan. Namun
beberapa jenis anggrek tertentu, suku Burmanniaceae dan Gentianaceae,
jenis-jenis Triuridaceae dan Balanophoraceae yang sedikit mengandung klorofil
dapat hidup dengan cara saprofit yang sama. Tumbuhan ini banyak ditemukan pada
lantai hutan yang memiliki rontokkan daun-daun yang cukup tebal dan terjadi
pembusukkan yang nyata. Tumpukan dedaunan tersebut dapat dijumpai pada
rongga-rongga atau sudut-sudut diantara akar-akar banir pohon-pohon.
- Parasit
Jenis tumbuhan ini biasanya
mengambil unsur hara dari pohon inangnya untuk kelangsungan hidupnya. Tumbuhan
ini hidupnya hanya untuk merugikan tumbuhan inangnya. Tumbuhan ini dapat berupa
cendawan dan bakteria yang digolongkan dalam 2 sinusia penting. Pertama adalah
parasit akar yang tumbuh di atas tanah dan yang kedua adalah setengah parasit
(hemiparasit) yang tumbuh seperti epifita di atas pohon. Parasit akar jumlahnya
sangat sedikit dan tidak seberapa penting artinya, namun bila dikaji secara
mendalam akan sangat menarik sekali. Hemiparasit yang bersifat seperti epifit jenisnya
sangat banyak sekali dan jumlahnyanya pun melimpah ruah serta banyak dijumpai
di seluruh hutan hujan tropis. Kebanyakan hemiparasit adalah dari suku benalu
(Loranthaceae).
11. Komponen
Penyusun Hutan Hujan Selain Tumbuhan
- Hewan
Hutan hujan menyediakan makanan
untuk hewan, sehingga hutan hujan tropis di jadikan rumah bagi berbagai jenis
hewan di antarnya mamalia, reptile, burung, amphibi, serangga dan ikan yang
hidup di perairan hutan hujan tropis.
Perairan hutan hujan tropis
termasuk sungai, anak sungai, danau, dan rawa-rawa adalah rumah bagi mayoritas
spesies ikan air tawar. Lembah sungai Amazon sendiri memiliki 3000 spesies yang
diketahui dan kemungkinan spesies yang tidak teridentifikasi dalam jumlah yang
sama.
Banyak ikan tropis yang
dipelihara di akuarium air tawar berasal dari hutan hujan. Ikan seperti
Angelfish, Neon Tetras, Discus, dan lele pemakan ganggang berasal dari hutan
hujan tropis di Amerika Selatan, sedangkan Danios, Gurameh, Siamese Fighting
Fish (atau Betta), dan Clown Loach berasal dari Asia.
Kebanyakan dari hewan yang
ditemukan di hutan hujan adalah serangga. Sekitar seperempat dari seluruh
spesies hewan yang telah diberi nama dan dideskripsikan oleh ilmuwan adalah
kumbang. Hampir 500.000 jenis kumbang diketahui ada. Karena pohon-pohon yang
terdapat di hutan tropis rata-rata tinggi dan permukaan tanahnya relatif sering
tergenang oleh air, maka hewan yang banyak hidup di daerah hutan basah ini
adalah hewan-hewan pemanjat sejenis primata, seperti; gorilla, monyet,
simpanse, siamang, dan primata lainnya.
- Manusia
Hutan Hujan
Hutan hujan tropis merupakan
rumah bagi manusia pedalaman yang bergantung pada sekitar mereka untuk makanan,
tempat berlindung, dan obat-obatan. Saat ini hanya sedikit manusia hutan yang
hidup dengan cara tradisional; kebanyakan telah digantikan dengan para penetap
dari luar atau telah dipaksa oleh pemerintah untuk menyerahkan gaya hidup
mereka.
Dari sisa-sisa manusia hutan
yang ada, Amazon memiliki jumlah populasi yang terbesar, walau orang-orang
tersebut juga telah dipengaruhi oleh dunia modern. Sementara mereka masih
menggunakan hutan sebagai tempat untuk berburu dan mengumpulkan makanan,
kebanyakan Ameridian, panggilan yang biasa ditujukan pada mereka, menanam hasil
bumi (seperti pisang, manioc, dan beras), menggunakan barang-barang dari Barat
(seperti panci, penggorengan, dan perkakas metal), dan melakukan kunjungan
reguler ke kota-kota untuk membawa makanan dan barang ke pasar. Walau begitu,
manusia-manusia hutan ini dapat mengajarkan banyak tentang hutan hujan pada
kita. Pengetahuan mereka tentang tanaman-tanaman obat yang digunakan untuk
merawat orang sakit tidak ada tandingannya dan mereka memiliki pemahaman yang
luar biasa mengenai ekologi dari hutan hujan Amazon.
Di Afrika terdapat penghuni
hutan asli yang kadang dikenal dengan nama pygmies. Ukuran tertinggi dari
orang-orang ini, juga dikenal sebagai Mbuti, jarang yang tingginya lebih dari 5
kaki. Ukuran mereka yang kecil membuat mereka dapat bergerak di dalam hutan
dengan lebih efisien bila dibandingkan dengan orang yang lebih tinggi.
12. Potensi Indonesia dan Keanekaragaman Hayati
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia (The Malay Archipelago) yang memiliki 17.000 buah pulau baik yang
berukuran besar ataupun kecil termasuk 6.000 yang berpenghuni dan sebagian
besar lain tidak ada penduduknya. Terbenang kira-kira 5.100 km dari lautan
Hindia hingga Pasifik dan memilki total luas daratan 191 juta ha yang
berasosiasi wilayah perairan317 ha dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) kira-kira
473 juta ha (KMNLH dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009).
Diperkirakan di
Indonesia terdapat lebih kurang 47 tipe ekosistem yang menyimpan pesohan
kehidupan flora dan faunanya dengan keanekaragaman jenis yang tinggi membuat
Indonesia mendapat julukan sebagai salah satu negara Megabiodiversitas di
dunia. Tingginya tingkat variasi ekosistemnya di Indonesia ini disebabkan oleh
karena sejarah geologi pembentukan yang berbeda di antara pulau-pulau di
Indonesia, variasi iklim dari berbagai timur yang kering dan distribusi flora
dan fauna yang ada di dalamnya. Hasil proses ini tercermin dalam keragaman
ekosustem dan taksa tumbuhan yang terdapat di wilayahnya. Menurut berbagai
publikasi ilmiah yang ada hingga saat ini jumlah spesies hewan untuk taksa yang
sudah diketahui dan jumpal spesies endemik untuk masing-masing taksa tercermin
dalam beberapa fakta sebagai berikut :
v 515 spesies mamalia besar (39 % endemik)
v 511 spesies reptilia (29 % endemik)
v 1.531 spesies avifauna (26 % endemik)
v 270 spesies amfibia (37 % endemik)
v 35 spesies primata (18 % endemik)
v 121 spesies kupu-kupu (44 % endemik)
Secara
biogeografi, Indonesia bersama Filipina, Malaysia, Singapore, Papua New Guinea,
Kepulauan Pasifik termasuk ke dalam kawasan ini dirumuskan berdasarkan
perhitungan statistik penyebaran marga tumbuhan. Banyak marga yang batas
penyebarannya berhenti pada tempat-tempat tertentu yang disebut simpul
demarkasi yang membatasi kawasan Malesia. Sumpul utama terletak antara
Australia dan Irian. Sisini penyebaran 964 marga tidak daoat menyebrang Selat
Torres. Dari jumlah ini 2/3 (644 marga) terletak di Irian, dan hanya
sepertiganya (375) terletak di Australia. Hal ini menunjukkan bahwa flora
Malesia mengandung lebih banyak unsur-unsur flora Asia dari pada Flora
Australia. Simpul-simpul lainnya terletak antara Filipina dan Taiwan (686
marga) dan antara Malesia dan Taiwan (575 marga). Sehingga demikian Malesia
adalah kawasan fitogeografi yang khas, yang 40% dari marga yang dikandungnya
tidak terdapat di luar kawasan ini.
Dalam
hal keanekaragaman jenis tmbuhan Indonesia menduduki peringkat lima besar di
dunia yaitu menduduki peringkat lima besar di dunia yaitu memiliki lebih dari
38.000 species tumbuhan (55% endemik) jumlah ini sama dengan 10% flora di
dunia, menenpati urutan pertama dalam daftar keanekaragaman jenis Palm (477
spesies : 225 spesies endemik) di dunia, lebih dari setengah dari seluruh
spesies (350) pohon penghasil kayu bernilai ekonomi penting dari famili
Dipterocarpaceaea terdapat di Indonesia, 267 jenis diantaranya di Kalimantan
(60% endemik). 106 jenis (10% endemik) di Sumatera. Suku tumbuhan yang lainnya
yang terbesar adalah Orchidaceae (angrek-anggrejan) yang diperkirakan yang
diperkirakan mempunyai 3.000-4.000 soesies. Marga lainnya adalah Eugenia
(Myrtaceae) yang mengandung sekitar 500 jenus dan Rhododendron 287 jenis.
Keunikan
lainnya dari Indonesia adalah tingginya tingkat endemisitas di beberapa wilayah
seperti Kepulauan Mentawai dan Sulawesi. Pulai Sulawesi merupakan pulau pentinf
di Indonesia karena secar biogeografi pulau ini terletak dalam subregion
biogeografi Wallacea yaitu suatu wilayah yang unik karena merupakan kawasan
peralihan antara Benua Asia dan Australia dan memiliki keanekaragaman hayato
dengan tingkat endemisitas yang tinggi. Diperkirakan 15% dari tumbuhan berbunga
di Sulawesi adalah endemik.
Kekayaan
jenis total Sulawesi endemisitasnya dapat dibandingkan dengan pulau-pulau
lainnya di Indonesia seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Papua New Guinea
walauun sangat berbeda dari segi sejarah geologi Sulawesi terletak pada jarak
yang paling jauh dari daratan Utama. Sedangkan pulau-pulau seperti Sumatra,
Jawa, dan Kalimantan diperkirakan pernah bersatu dengan daratan utama Asia.
Sementara itu Sulawesi sudah terisolasi dalam waktu yang lama dari dataran
utama dan pulau tersebut oleh selat yang sangat dalam. Diperkirakan 15% dari
total tumbuhan berbunga Sulawesi adalah endemik.
13. Hutan Basah Indonesia, Keanekaragaman Hayatinya, dan Hubungannya dengan Pemenasan
Global, dan Perubahan Iklim
Proses
deforestasi (penghancuran) dan berukuran luas hutan tropis akibat ulah manusia
sudah berada pada titik uang amat membahayakan. Diperkirakan antara tahun 1990
dan 1997, sebanyak 5,8 +/- 1,4 juta ha (0.5%) dari hutan hujan tropis hilang
setiap tahunnya (Laurence dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009). Berdasarkan
pemetaan terakhir terhadap tutupan kanopi hutan di Indonesia, Ministry of
Forestry (MOF) mengatakan bahwa laju “deforestation” di Indonesia diperkirakan
berlipat ganda antara tahun 1985 dan 1997 dari kurang 1 (satu) juta ha hingga
1,7 juta ha tiap tahun, dimana Sulawesi kehilangan 20% dari hutannya dalam
periode ini.
Kerusakan hutan
tropis di dunia sangat menghawatirkan, sebab hutan tropis merupakan paru-paru
dunia yang mampu mentransformasikan karbondioksida dan merubahnya menjadi oksigen
dan gula glukosa. Bila hutan tropis hancur, maka nisa dibayangkan seluruh dunia
akan terkena dampaknya. Dewasa ini tiap tahun menurut World Bank 10 sampai 20
juta Ha hutan tropis hancur, sedangkan di Indonesia sendiri diperkirakan antara
600-2,5 juta ha hutan tropis Indonesia musnah, padahal hutan tropis merupakan
ekosistem yang sangat penting bagi bumi, karena sebagai besar makhluk hidup di
bumi berada pada hutan tropis.
Rusak dan
hancurnya hutan tropis terutama di Indonesia adalah disebabkan oleh berbagai
aktivitas manusia yang merupakan biang penyebabnya. Aktivitas manusia tersebut
adalah adanya kegiatan pembalakan (logging) baik yang legal ataupun melalui
pencurian (pembalakan liar) yang sering dikenal sebagai “illegal logging”. Menurut Alikodra dalam dalam Ramadanil dan
Elijonnahdi (2009) bahwa akhir-akhir ini di Indonesia tak ada lagi hutan yang
terbebas dari pencurian kayu, tak terkecuali hutan lindung dan hutan
konservasi. Salah satu penyebab maraknya pencurian kayu atau penebangan liar di
negara tercinta ini adalah rendahnya kualitas moral/karakter bangsa (akhlak).
Selanjutnya dicontohkan oleh Alikodra dalam Ramadanil dan Elijonnahdi (2009)
pencurian kayu secara besar-besaran yang terjadi di wilayah Kalimantan Barat
dan Kalimantan Timur yang penadanya adalah oknum pengusaha dari negara tetangga
Malaysia. Tercatat sebesar 690.000 meter kubik tiap tahun kayu liar hasil
jarahan yang diseludupkan secara ilegal ke negeri jiran tersebut.
Penyebab lain
hilangnya hutan tropis Indonesia dan
keanekaragaman hayati adalah akibat kegiatan perubahan fungsi hutan misalnya
adanya pertambangan, maraknya dan pesatnya konversi hutan menjadi peruntukan
lain seperti Perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran. Sebagai sebuah
perbandingan Sumatra dan Kalimantan telah kehilangan sebagian besar hutan
tropis dataran rendahnya dan dikonversi menjadi kebun sawit dan karet.
Disamping itu faktor kebakaran baik yang terjadi secara alami ataupun yang
sengaja juga merupakan salah satu penyebab hancurnya hutan. Hasil atau musnahnya
hutan tropis sudah pasti akan menimbulkan dampak yang besar terhadap kehidupan
misalnya punahnya keanekaragaman hayati, terjadinya bencana alam banjir,
longsor, terbatasnya kesediaan air bersih, kekeringan air bersih, kekeringan,
dan lain sebagainya.
Secara global
akhir-akhir ini disarankan pula terjadi fenomena yang disebut pemansan global (global warning) yang disebabkan oleh
terjadi kenaikan suhu bumi. Dalam peringatan hari bumi tanggal 22 April 200,
majala Time menurunkan edisi khusus tentang bumi yang makin panas dan rusak.
Meningkatnya pemanasan global sungguh sangat memprihatinkan masa depan bumi dan
kehidupan manusia sebagai mahluk utama penghuni bumi. Seperti diberitahukan
bahwa pemanasan global adalah meningkatnya konsentrai gas-gas yang dapat
menimbulkan efek rumah kaca (green house
effect) seperti karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NO), metana (CH4)
dan chlorofluorocarbon (CFCs). Meningkatnya konsentarasi gas-gas
tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi pertambangan penduduk bumi (baca :
meningkatnya pula kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang harus dipenuhi,
yang kesemuanya akibat meningkatnya konsentrasi ketiga gas terbebut). Sedangkan
meningkatnya CFCs semata-mata karena makin meningkatnya kebutuhan tersier
manusia seperti alat pendingin (kulkas), AC, plastik dan lain-lain. Di sisi
lain gas CFC sangat membahayakan bumi karena dapat menghancurkan lapisa ozon di
stratosfir yang berfungis menahan sinar ultraviolet yang dipancarkan matahari.
Dalam kaitannya
dengan keanekaragaman hayati, pemanasan global akan berdampak pada perubahan
dalam kisaran penyebaran, meningkatnya tingkat kelangkaan, perubahan waktru
reproduksi dan lamanya musim tanam. Laporan IPCC (International Panel on Climate Change) pada april 2007 tentang
dampak, kerentanan dan adaptasi perubahan iklim mengemukakan bahwa kurang lebih
20-3-$ tumbuhan dan hewan akan mengalami resiko kepunahannya jika terjadi
kenaikan temperatur global rata-rata di atas 1,5 – 2,5° C, yang diperkirakan
pada tahun 2100, 2/3 ari spesies yang ada di bumi akan hilang.
Pada belahan
bumi lain, para ilmuan melihat adanya penciran salju di puncak gunung dan
kutub, padahal puncak gunung dan kutub berperan penting dalam menstabilkan
musim dan ekologi bumi. Pencairan es di kedua tempat tersebut akan menaikkan
permukaan air laut. Akibatnya dapat mengacaukan sirkulasi angin, dan akhirnya
mengacaukan iklim (perubahan iklim). Tim ahli juga menunjukkan daerah-daerah
paling rawan diterjang banjir adalah sepanjang pantai selatan Mediterania,
pantai barat Afrika, Asia Selatan (India, Bangladesh, Srilangka, Meldives),
Asia Tenggara, pantai Pasifik dan laut Indonesia. Sebagian besar kawasan
tersebut merupakan negara-negara miskin yang padat penduduknya.
Upaya Penyelamatan Ekosistem Hutan Tropis dan
Keanekaragaman Hayati
Berbagai upaya
baik pada skala lokal, nasional ataupun internasional telah dilakukan untuk
mengatasi persolana konservasi semberdaya alam dan lingkungannya. Di Indonesia
sendiri upaya konservasi sudah dimulai sejak 1880, yaitu sejak masa penjajahan dengan
ditetapkan sebuah cagar alam di Depok. Namim konsepsi secara menyeluruh bagi
usaha-usaha konservasi sumberdaya alam termasuk hutan hidup baru dimuial pada
Pelita III dua bulan sebelum diumumkannya Strategi Konservasi dunia, yaitu
dengan dibentuknya Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pertanian dan Menteri
Negara PPLH pada tanggal 20 Agustus 1980 tentang pembentukan Tim Pengarah Alam
(Direktoral Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam RI 1998). Dengan
dikeluarkan Strategi Konservasi Dunia (World
Conservasion Strategy/WCS) oleh IUCN (International
Union of Conservasion Nation) tahun 1980, Indonesia menyusun strategi
konservasinya sejalan, dengan strategi konservasi dunia. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor Tahun 1990, strategi konservasi yang ada sekarang ini dapat
diikhtisiarkan sebagai berikut :
1. Perlindungan proses-proses ekologis yang penting dalam
menyangga kehidupan
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi
usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan :
- Perlindungan daerah-daerah pegunungan yang belereng curam dan mudah
tererosi yaitu dengan membentuk hutan-hutan
- Perlindungan daerah pantai dengan pengelolaan yang terkendali bagi
daerah hutan bakau dan hutan pantai serta daerah hamparan karag
- Perlindungan daerah aliran sungai, lereng perbukitan dan tepi-tepi
sungai, danau, ngarai, dengan pengelolaan yang terkendali terhadap
vegetasi
- Pengembangan daerah-daerah hutan luas seperti misalnya dijadikan
mintaka rimba di dalam Taman Nasional, Suaka Margasatwa, dan Cagar Alam
- Perlindungan tempat-tempat yang memiliki nilai unik, keindahan alam
yang sangat menarik atau ciri-ciri khas alam atau budaya daerah tersebut
- Mengadakan analisa mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai suatu
syarat mutlak untuk melaksanakan semua rencana pembangunan
2. Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah dan
habitatnya
Terdiri dari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Unsur-unsur hayati (manusia,
tumbuhan, satwa, dan jasad renik) dan unsur-unsur non hayati (air, udara,
tanah, dan zat hara). Upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan habitatnya
telah dilakukan berupa :
a. Di dalam kawasan Konservasi (in-situ) : perlindungan
yang diberikan untuk semua habitatnya berupa kawasan Suaka Alam, Taman
Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Lindung, Taman Hutan Raya, dan
lain-lain.
b. Di luar kawasan (esk-situ) : upaya konservasi yang
dilakukan di luar habitat aslinya seperti : Kebun raya, Arboretum, Kebun
Binatang, dan Taman Safari
BAB III
KESIMPULAN
Hutan Hujan
Tropika (Tropische Regenwald) atau bioma hutan basah merupakan istilah yang digunakan pertama-tama oleh Schimper tahun 1903
dalam bukunya “Plant Geography”, istilah ini sudah dibakukan
dan digunakan sampai sekarang (Whitmore dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009).
Penyebaran hutan hujan tropika di dunia adalah pada negara-negara yang terletak
pada posisi antara 23,5° LU dan 23,5° LS yang meliputi tiga kawasan yaitu :
pertama, di Amerika Selatan yang berpusat di lembah sungai Amazon Brazilia,
meliputi daerah seluas sekitar 400 juta hektar. Lokasi kedua adalah kawasan
hutan Indo-Malaya dengan luas sekitar 250 juta hektar dan lokasi ke tiga adalah
kawasan hutan Afrika Barat yang terpusat di Lembah sungai Congo/Zaire sampai
teluk Guyana dengan luas kawasan sekitar 180 juta hektar.
Tipe ekosistem hutan hujan
tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut
klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe
ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah, pada daerah yang
memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol dengan drainase yang
baik, dan terletak jauh dari pantai. Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh
pepohonan yang selalu hijau. Keanekaragaman spesies tumbuhan dan binatang yang
ada di hutan hujan tropis sangat tinggi. Jumlah spesies pohon yang ditemukan
dalam hutan hujan tropis lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada
ekosistem yang lainnya. Misalnya, hutan hujan tropis di Amazonia mengandung
spesies pohon dan semak sebanyak 240 spesies.
Tajuk pohon hutan hujan
tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tumbuh-tumbuhan yang memanjat,
menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan
paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk
hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk
berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah
beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan.
Itu semua merupakan ciri
umum bagi ekosistem hutan hujan tropis. Selain ciri umum yang telah dikemukakan
di atas, masih ada ciri yang dimiliki ekosistem hutan hujan tropis, yaitu
kecepatan daur ulang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak
mungkin kekurangan unsur hara. Jadi, faktor pembatas di hutan hujan tropis
adalah cahaya, dan itu pun hanya berlaku bagi tumbuh-tumbuhan yang terletak di
lapisan bawah. Dengan demikian, herba dan semak yang ada dalam hutan adalah
spesies-spesies yang telah beradaptasi secara baik untuk tumbuh di bawah
naungan pohon.
|
Jenis tumbuhan yang hidup di daeran hutan
basah antara lain :
Karena pohon-pohon yang terdapat di hutan tropis rata-rata
tinggi dan permukaan tanahnya relatif sering tergenang oleh air, maka hewan
yang banyak hidup di daerah hutan basah ini adalah hewan-hewan pemanjat sejenis
primata, seperti :
DAFTAR PUSTAKA
Muherda. (2011). Ekosistem Hutan Hujan Tropis. Yogyakarta
: Wiyata Karya Pustaka.
Pitopang, R., Elijonnahdi. (2009). Hutan Tropis Indonesia, Keanekaragaman Hayati, dan Kaitan
dengan Pemanasan Global. Biocelebes, Juni 2009,
hl.01-09, vol. 01-03
Wiharto, M. (2010). Produktivitas Vegetasi Hutan
Hujan Tropis. Jakarta :
Wahyu Media
No comments:
Post a Comment